Pac gp.ANSOR Cipatat Slideshow: PAC’s trip to Bandung, Java, Indonesia was created by TripAdvisor. See another Bandung slideshow. Create a free slideshow with music from your travel photos.

Selasa, 30 Agustus 2011

Muhammadiyah Terbelenggu Wujudul Hilal: Metode Lama yang Mematikan Tajdid Hisab

oleh Pesantren Virtual pada 29 Agustus 2011 jam 15:10

Oleh: Thomas Djamaluddin

Profesor Riset Astronomi -Astrofisika, LAPAN

Anggota Badan Hisab Rukyat, Kementeria Agama RI



Perbedaan Idul Fitri dan Idul Adha sering terjadi di Indonesia. Penyebab utama BUKAN

perbedaan metode hisab (perhitungan ) dan rukyat (pengamatan) , tetapi pada perbedaan

kriterianya. Kalau mau lebih spesifik merujuk akar masalah, sumber masalah utama adalah

Muhammadiyah yang masih kukuh menggunakan hisab wujudul hilal. Bila posisi bulan sudah

positif di atas ufuk, tetapi ketinggiannya masih sekitar batas kriteria visibilitas hilal (imkan rukyat,

batas kemungkinan untuk diamati) atau lebih rendah lagi, dapat dipastikan terjadi perbedaan.


Perbedaan terakhir kita alami pada Idul Fitri 1327 H/2006 M dan 1428 H/2007 H serta Idul Adha

1431/2010 . Idul Fitri 1432/ 2011 tahun ini juga hampir dipastikan terjadi perbedaan. Kalau kriteria

Muhammadiyah tidak diubah, dapat dipastikan awal Ramadhan 1433/2012 , 1434/ 2013, dan

1435/2014 juga akan beda. Masyarakat dibuat bingung, tetapi hanya disodori solusi sementara,

“mari kita saling menghormati” . Adakah solusi permanennya? Ada, Muhammadiyah bersama

ormas-ormas Islam harus bersepakati untuk mengubah kriterianya.



Mengapa perbedaan itu pasti terjadi ketika bulan pada posisi yang sangat rendah, tetapi sudah

positif di atas ufuk? Kita ambil kasus penentuan Idul Fitri 1432/ 2011. Pada saat maghrib 29

Ramadhan 1432/29 Agustus 2011 tinggi bulan di seluruh Indonesia hanya sekitar 2 derajat atau

kurang, tetapi sudah positif. Perlu diketahui, kemampuan hisab sudah dimiliki semua ormas

Islam secara merata, termasuk NU dan Persis, sehingga data hisab seperti itu sudah diketahui

umum. Dengan perangkat astronomi yang mudah didapat, siapa pun kini bisa menghisabnya.

Dengan posisi bulan seperti itu, Muhammadiyah sejak awal sudah mengumumkan Idul Fitri

jatuh pada 30 Agustus 2011 karena bulan (“hilal”) sudah wujud di atas ufuk saat maghrib 29

Agustus 2011. Tetapi Ormas lain yang mengamalkan hisab juga, yaitu Persis (Persatuan Islam),

mengumumkan Idul Fitri jatuh pada 31 Agustus 2011 karena mendasarkan pada kriteria imkan

rukyat (kemungkinan untuk rukyat) yang pada saat maghrib 29 Agustus 2011 bulan masih terlalu

rendah untuk bisa memunculkan hilal yang teramati. NU yang mendasarkan pada rukyat masih

menunggu hasil rukyat. Tetapi, dalam beberapa kejadian sebelumnya seperti 1427/ 2006 dan

1428/2007 , laporan kesaksian hilal pada saat bulan sangat rendah sering kali ditolak karena

tidak mungkin ada rukyat dan seringkali pengamat ternyata keliru menunjukkan arah hilal .

Jadi, selama Muhammadiyah masih bersikukuh dengan kriteria wujudul hilalnya, kita selalu

dihantui adanya perbedaan hari raya dan awal Ramadhan. Seperti apa sesungguhnya hisab

wujudul hilal itu? Banyak kalangan di intern Muhammadiyah mengagungkannya, seolah itu

sebagai simbol keunggulan hisab mereka yang mereka yakini, terutama ketika dibandingkan

dengan metode rukyat. Tentu saja mereka anggota fanatik Muhammadiyah, tetapi

sesungguhnya tidak faham ilmu hisab, seolah hisab itu hanya dengan kriteria wujudul hilal.

Oktober 2003 lalu saya diundang Muhammadiyah sebagai narasumber pada Munas Tarjih ke- 26

di Padang. Saya diminta memaparkan “Kritik terhadap Teori Wujudul Hilal dan Mathla’ Wilayatul

Hukmi”. Saya katakan wujudul hilal hanya ada dalam teori, tidak mungkin bisa teramati. Pada

kesempatan lain saya sering mangatakan teori/kriteria wujudul hilal tidak punya landasan kuat

dari segi syar’i dan astronomisnya. Dari segi syar’ i, tafsir yang merujuk pada QS Yasin 39-40

terkesan dipaksakan (rincinya silakan baca blog saya http:/ /tdjamaluddin. wordpress.com /2011/ 07/28/ hisab- dan-rukyat -setara -astronomi- menguak-isyarat-lengkap- dalam-al -quran-tentang -penentuan- awal-ramadhan- syawal-dan -dzulhijjah/ ). Dari segi astronomi, kriteria wujudul hilal adalah kriteria usang yang sudah lama ditinggalkan di kalangan ahli falak.



Kita ketahui, metode penentuan kalender yang paling kuno adalah hisab urfi (hanya

berdasarkan periodik, 30 dan 29 hari berubalang-ulang, yang kini digunakan oleh beberapa

kelompok kecil di Sumatera Barat dan Jawa Timur, yang hasilnya berbeda dengan metode hisab

atau rukyat modern) . Lalu berkembang hisab imkan rukyat (visibilitas hilal, menghitung

kemungkinan hilal teramati), tetapi masih menggunakan hisab taqribi (pendekatan ) yang

akurasinya masih rendah. Muhammadiyah pun sempat menggunakannya pada awal sejarahnya.

Kemudian untuk menghindari kerumitan imkan rukyat, digunakan hisab ijtimak qablal ghurub

(konjungsi sebelum matahari terbenam) dan hisab wujudul hilal (hilal wujud di atas ufuk yang

ditandai bulan terbenam lebih lambat daripada matahari). Kini kriteria ijtimak qablal ghurub dan

wujudul hilal mulai ditinggalkan, kecuali oleh beberapa kelompok atau negara yang masih kurang

keterlibatan ahli hisabnya, seperti oleh Arab Saudi untuk kalender Ummul Quro-nya . Kini para

pembuat kalender cenderung menggunakan kriteria imkan rukyat karena bisa dibandingkan

dengan hasil rukyat. Perhitungan imkan rukyat kini sangat mudah dilakukan, terbantu dengan

perkembangan perangkat lunak astronomi. Informasi imkanrur rukyat atau visibilitas hilal juga

sangat mudah diakses secara online di internet.



Muhammdiyah yang tampaknya terlalu ketat menjauhi rukyat terjebak pada kejumudan

(kebekuan pemikiran) dalam ilmu falak atau astronomi terkait penentuan sistem kelendernya.

Mereka cukup puas dengan wujudul hilal , kriteria lama yang secara astronomi dapat dianggap

usang. Mereka mematikan tajdid (pembaharuan ) yang sebenarnya menjadi nama lembaga think

tank mereka, Majelis Tarjih dan Tajdid. Sayang sekali. Sementara ormas Islam lain terus

berubah. NU yang pada awalnya cenderung melarang rukyat dengan alat, termasuk kacamata,

kini sudah melengkapi diri dengan perangkat lunak astronomi dan teleskop canggih. Mungkin

jumlah ahli hisab di NU jauh lebih banyak daripada di Muhammadiyah, walau mereka pengamal

rukyat. Sementara Persis (Persatuan Islam), ormas “kecil” yang sangat aktif dengan Dewan

Hisab Rukyat-nya berani beberapa kali mengubah kriteria hisabnya. Padahal, Persis kadang

mengidentikan sebagai “saudara kembar” Muhammadiyah karena memang mengandalkan

hisab, tanpa menunggu hasil rukyat. Persis beberapa kali mengubah kriterianya, dari ijtimak

qablal ghrub , imkan rukyat 2 derajat, wujudul hilal di seluruh wilayah Indonesia, sampai imkan

rukyat astronomis yang diterapkan.



Demi penyatuan ummat melalui kalender hijriyah, memang saya sering mengkritisi praktek hisab

rukyat di NU , Muhammadiyah, dan Persis. NU dan Persis sangat terbuka terhadap perubahan.

Muhammadiyah cenderung resisten dan defensif dalam hal metode hisabnya. Pendapatnya

tampak merata dikalangan anggota Muhammadiyah, seolah hisab itu hanya dengan kriteria

wujudul hilal. Itu sudah menjadi keyakinan mereka yang katanya sulit diubah. Gerakan tajdid

(pembaharuan ) dalam ilmu hisab dimatikannya sendiri. Ketika diajak membahas kriteria imkan

rukyat, tampak apriori seolah itu bagian dari rukyat yang terkesan dihindari.



Lalu mau kemana Muhammadiyah? Kita berharap Muhammadiyah, sebagai ormas besar yang

modern, mau berubah demi penyatuan Ummat. Tetapi juga sama pentingnya adalah demi

kemajuan Muhammadiyah sendiri, jangan sampai muncul kesan di komunitas astronomi

“Organisasi Islam modern, tetapi kriteria kelendernya usang” . Semoga Muhammadiyah mau

berubah!
Sumber: Pesantren Virtual

Baca selengkapnya......

POSKO MUDIK BANSER CIPATAT







Baca selengkapnya......